BOGOR – Tragedi yang merenggut nyawa seorang siswi SMK Permatasari di Tamansari, Rumpin, kembali menyayat hati publik. Kecelakaan yang melibatkan truk tambang ini menjadi pukulan telak terhadap citra pemerintah daerah yang dianggap tak lagi mampu menjaga keselamatan masyarakat di kawasan rawan tambang.
Anggota DPRD Jawa Barat, H. Ricky Kurniawan, Lc., menilai peristiwa ini bukan sekadar insiden lalu lintas, melainkan sudah menjadi krisis moral dan akuntabilitas bagi pemerintah daerah maupun provinsi.
“Ini alarm moral bagi kita semua, khususnya bagi pemerintah. Khususnya anak-anak sekolah dan warga, terus jadi korban, tapi respons dari negara belum setara dengan keseriusan persoalannya,” ujar Ricky dalam keterangannya, Minggu (18/5).
Ricky menilai Perbup Nomor 56 Tahun 2023 yang seharusnya mengatur lalu lintas truk tambang di Kabupaten Bogor tidak diikuti dengan langkah pengawasan yang nyata. Ia menyebut aturan itu telah kehilangan makna karena lemahnya implementasi di lapangan.
“Regulasinya ada, tapi pengawasan nihil. Apa gunanya aturan kalau tidak ada ketegasan?” ucap politisi Partai Gerindra itu.
Ia secara terbuka menyebut lambannya PT Jasa Sarana dalam menyelesaikan pembebasan lahan proyek jalan tambang sebagai salah satu penghambat utama solusi jangka panjang. Ditambah lagi, kinerja Dinas Perhubungan disebut belum mampu menjawab tantangan pengendalian lalu lintas tambang yang kian liar.
“Negara harus hadir secara utuh, bukan setengah hati. Kalau PT Jasa Sarana lambat, Dishub tidak mampu mengatur lalu lintas, lalu siapa yang akan menjamin keselamatan warga? Kita bicara soal nyawa manusia, bukan sekadar proyek,” tegasnya.
Ricky juga menyinggung soal janji-janji pemerintah terhadap masyarakat terdampak, termasuk keluarga korban. Ia meminta agar langkah konkret segera dilakukan, bukan hanya santunan yang bersifat sementara.
“Walau kompensasi bukan penyelesaian. Penegakan hukum terhadap truk-truk yang melanggar dan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas tambang itu yang paling mendesak,” ujarnya.
Ricky mengusulkan agar jam operasional truk tambang diatur ulang secara ketat agar tidak tumpang tindih dengan waktu pelajar berangkat dan pulang sekolah.
“Anak-anak sekolah harus menjadi prioritas perlindungan. Jangan lagi ada kejadian serupa yang dibiarkan berlalu tanpa koreksi kebijakan,” tambahnya.
Ia juga kembali mengingatkan pentingnya realisasi jalan khusus tambang, agar jalur umum tak lagi menjadi lintasan maut.
“Ini bukan soal kenyamanan, ini soal hidup dan mati. Kalau jalan khusus tak segera dibangun, tragedi seperti ini akan terus berulang,” pungkas Ricky.
Dengan terus bertambahnya korban jiwa, publik kini menuntut lebih dari sekadar empati. Mereka ingin kepastian bahwa keselamatan bukan lagi hanya wacana, tapi menjadi komitmen nyata pemerintah dalam bertindak.*



