BOGOR – Sebuah kasus dugaan manipulasi surat tanah tengah mencuat di Desa Kutamekar, terkait dengan transaksi jual beli tanah seluas 6.233 meter persegi (m²) yang diduga melibatkan pihak-pihak tertentu, termasuk aparat desa dan oknum karyawan PT Awani.

Tanah tersebut sebenarnya telah dijual kepada PT Awani oleh orang tua ahli waris dan diketahui juga oleh anak-anaknya, namun karena tergiur dengan nilai ganti rugi pengadaan tanah bendungan Cibeet, diduga para ahli waris dan kepala desa sepakat membuat surat pernyataan waris dengan tanggal dan tahun mundur supaya seolah-olah surat pernyataan ahli waris sudah ada sejak lama, sehingga tanah tersebut ada bukti kepemilikan dan mendapat ganti rugi dari PPK Pengadaan Tanah Bendungan Cibeet atas nama ahli waris berinisial MF seluas 6.233 m2 berlokasi di Kp. Cipicung Desa Kutamekar Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor.

Menurut informasi yang berhasil dihimpun, tanah seluas 6.233 m² tersebut merupakan sisa dari pengukuran tanah milik PT Awani yang dilakukan oleh Satgas A BPN berdasarkan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) atas nama PT Awani.

Luas tanah PT Awani sendiri telah sesuai dengan pengukuran, yaitu 13 hektar (ha). Namun, tanah sisa seluas 6.233 m² kemudian diurus secara terpisah dengan cara yang diduga tidak sesuai prosedur.

Dugaan manipulasi bermula ketika tanah sisa tersebut dibuatkan surat keterangan waris atas nama ahli waris MF, yang sebagai staf Desa Kutamekar kecamatan Cariu kabupaten Bogor. Surat pernyataan ahli waris tersebut dibuat atas permintaan Kepala Desa (Kades) Kutamekar, dengan tanggal dan tahun yang dimundurkan, seolah-olah dokumen tersebut sudah ada sejak lama.

Surat pernyataan itu ditandatangani oleh Kades, para ahli waris, serta saksi-saksi dari tingkat RT/RW setempat. Namun, surat tersebut tidak dilengkapi dengan tanda tangan Camat, padahal seharusnya surat pernyataan ahli waris harus diketahui oleh Camat sebagai pihak yang berwenang.

Dengan menggunakan surat pernyataan ahli waris yang dianggap tidak sah tersebut, tanah seluas 6.233 m² kemudian diakui sebagai milik ahli waris MF dan dibayarkan oleh PPK Pengadaan Tanah melalui Bank BRI.

Menurut informasi dari MF, uang pembayaran tanah tersebut mencapai Rp 3.539.578.000. Namun, uang tersebut diduga tidak sepenuhnya diterima oleh ahli waris, melainkan dibagi dua antara Kades dan rekan-rekannya (Kades cs) serta Dudung dan rekan-rekannya (Dudung cs), yang merupakan orang lapangan kepercayaan PT Awani.

Kasus ini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait integritas proses pengadaan tanah dan kemungkinan adanya kolusi antara pihak-pihak tertentu. Masyarakat setempat menuntut adanya investigasi mendalam oleh pihak berwenang untuk mengungkap kebenaran di balik transaksi ini. Jika dugaan manipulasi terbukti, hal ini dapat merugikan negara dan masyarakat, serta merusak tata kelola administrasi pertanahan yang seharusnya transparan dan akuntabel.

BPN setempat telah diminta untuk meninjau ulang dokumen-dokumen terkait, termasuk surat pernyataan ahli waris yang diduga bermasalah tersebut. Sementara itu, pihak PT Awani belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dalam proses pengadaan tanah, terutama yang melibatkan dana publik, untuk mencegah praktik-praktik manipulasi dan korupsi yang merugikan kepentingan umum. 

Masyarakat berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara transparan dan adil, serta menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem pengelolaan tanah di masa depan. (***)