Ternate, 28 Juli 2025 – Di tengah sorotan tajam terhadap aktivitas pertambangan ilegal, Lembaga Pengawasan dan Tindak Pidana Korupsi (LPP Tipikor) Maluku Utara menggelar aksi damai di depan Kantor Kejaksaan Tinggi Malut. Mereka menuntut keadilan terkait dugaan eksploitasi tambang oleh PT. Position di Maba, Kabupaten Halmahera Timur. Aksi ini bukan hanya sekadar protes terhadap kerusakan lingkungan, tetapi juga sebagai pembelaan hak masyarakat adat yang terdampak langsung.

Ketua LPP Tipikor Malut, Jumardin Gaale, dalam orasinya menegaskan bahwa perusahaan tersebut diduga melakukan pembongkaran hutan dan eksploitasi nikel di luar izin usaha tambang (IUP) yang sah. Aktivitas ini mencakup area sepanjang 1,2 kilometer dan luas sekitar 7,3 hektare, dengan potensi kerugian negara akibat penambangan ilegal ditaksir mencapai Rp374,9 miliar.

“Yang kami perjuangkan bukan hanya pelanggaran administratif. Ini soal ketimpangan. Hukum seolah lambat ketika berhadapan dengan korporasi, sementara masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi,” kata Jumardin, Jumat (28/7/2025).

LPP Tipikor juga menyoroti dampak ekologis yang semakin mengkhawatirkan, terutama pencemaran aliran sungai Kali Sangaji yang mengalir melalui Desa Wailukum. Sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga kini tercemar oleh limbah dari aktivitas tambang.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi ketika pembangunan mencederai hak hidup masyarakat dan merusak alam, di situlah negara harus hadir,” tambahnya.

Dalam tuntutannya, LPP Tipikor mendesak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk memanggil dan memeriksa jajaran direksi serta komisaris PT. Position. Mereka juga meminta Kementerian ESDM untuk memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin dan penghentian seluruh kegiatan tambang perusahaan tersebut.

Aksi solidaritas ini juga menjadi dukungan moral bagi masyarakat Maba Sangaji yang tengah menghadapi proses hukum karena mempertahankan tanah adat mereka. Jumardin berharap Pengadilan Negeri Soasio Tidore dapat mempertimbangkan aspek keadilan sosial dalam putusannya.

“Kita bicara soal keadilan yang berpihak pada mereka yang lemah. Proses hukum tidak boleh hanya menjadi alat untuk mengintimidasi masyarakat adat yang memperjuangkan ruang hidupnya,” tegasnya.

Dengan semangat yang membara, Jumardin menutup orasinya dengan seruan agar hukum di Indonesia tidak lagi memihak kepada yang kuat. Ia meminta pemerintah dan penegak hukum untuk menunjukkan keberpihakan terhadap lingkungan dan masyarakat yang selama ini menjadi korban eksploitasi.*