ACEH – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklarifikasi pemberitaan terkait tiga bupati di Aceh yang disebut menyerah dalam menangani bencana banjir. Ia menegaskan bahwa para kepala daerah tersebut tidak menyerah total, melainkan menyatakan ketidaksanggupan karena keterbatasan sumber daya dan secara resmi meminta bantuan pemerintah pusat.

"Bukan menyerah total. Mereka tetap bekerja semampu mereka, tapi ada hal-hal yang mereka tidak mampu tangani sendiri," ujar Tito dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu (3/12/2025). Ia mencontohkan kondisi Aceh Tengah yang sepenuhnya terisolasi akibat longsor dan jembatan putus, sehingga memerlukan intervensi dari luar.

Situasi darurat akibat banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh membuat para kepala daerah menyampaikan ketidakmampuan mereka dalam menangani bencana secara mandiri. Bupati Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Timur, hingga Aceh Selatan telah menandatangani surat resmi yang menegaskan keterbatasan sumber daya, akses logistik, serta kondisi medan yang sulit dijangkau.

Menanggapi hal tersebut, Tito Karnavian memastikan pemerintah pusat segera mengambil alih penuh distribusi logistik untuk Aceh. Pengiriman bantuan akan diprioritaskan melalui jalur udara dari Jakarta dan Medan guna mempercepat masuknya kebutuhan darurat bagi warga terdampak.

Gubernur Aceh, Mualem, menyebut dampak banjir dan longsor kali ini sebagai bencana yang menyerupai tsunami kedua, mengingat besarnya kerusakan infrastruktur dan terputusnya akses vital bagi masyarakat.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Utamakan Keselamatan Rakyat Aceh di Tengah Krisis

Dalam situasi darurat ini, masyarakat Aceh diimbau menjaga stabilitas, persatuan, serta keamanan wilayah. Ketidakmampuan pemerintah daerah menangani bencana harus dipahami sebagai kondisi luar biasa, bukan pemicu perpecahan atau konflik politik.

Pada momentum peringatan HUT Gerakan Aceh Merdeka (GAM), para pendukung gerakan tersebut diharapkan menahan diri agar tidak menambah beban psikologis dan sosial masyarakat. Krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung jauh lebih membutuhkan solidaritas dan kerja sama seluruh pihak.

Pengamat intelijen Kolonel Purn. Sri Radjasa Chandra, mantan perwira intelijen TNI AD yang lama bertugas di Aceh, menegaskan pentingnya menjadikan situasi ini sebagai momen refleksi.

"Peringatan milad GAM pada 4 Desember 2025, pasca bencana alam, hendaknya dijadikan momentum introspeksi dalam menata kembali kehidupan rakyat Aceh yang lebih mengedepankan kepedulian terhadap keseimbangan ekosistem."

Ia juga menilai seruan untuk mengibarkan bendera GAM pada saat rakyat sedang berjuang bertahan hidup adalah tindakan yang tidak empatik.

"Seruan pengibaran bendera GAM di tengah penderitaan rakyat Aceh akibat bencana alam tentu menjadi tidak bijak, mengingat saat ini rakyat Aceh jauh lebih membutuhkan sandang dan pangan."

Beberapa eks kombatan GAM turut menyerukan agar para pendukung mendukung TNI-Polri dan pemerintah dalam menjaga keamanan serta membantu percepatan penanganan bencana. Mereka menegaskan pentingnya mengutamakan kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama di tengah musibah besar yang menimpa Aceh.

Peringatan HUT GAM dinilai akan lebih bermakna jika dijadikan momen memperkuat solidaritas masyarakat Aceh. Menghormati jasa para pendiri GAM tidak harus dengan perayaan, tetapi dengan tindakan nyata yang mendukung perdamaian, persatuan, dan keselamatan warga.

Dengan menempatkan penanganan bencana sebagai prioritas utama, seluruh elemen masyarakat dapat menunjukkan bahwa Aceh benar-benar layak disebut sebagai Negeri Keselamatan sebuah wilayah yang dijaga dengan persatuan, kepedulian, dan kekuatan bersama menghadapi krisis.*