BOGOR - Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia telah menjadi saksi dari gelombang demonstrasi yang melanda berbagai daerah. Fenomena ini, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Rhenald Kasali, tidak muncul tanpa sebab. Berbagai tindakan dan pernyataan dari pejabat yang dianggap kurang peka terhadap kondisi masyarakat telah memicu reaksi ini.

Isu-isu seperti pernyataan sembrono, penyitaan tanah yang tidak masuk akal, serta kebijakan pembekuan rekening untuk memberantas judi online yang dianggap keliru, telah menambah daftar panjang keluhan masyarakat. Ditambah lagi, kenaikan harga beras, meningkatnya angka pengangguran, dan lonjakan pajak PBB yang mencapai ratusan persen, semakin memperburuk keadaan. Ketidakadilan ini semakin terasa ketika berita mengenai kenaikan pendapatan dan fasilitas DPR berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi oleh guru, dosen, dan petani.

Akumulasi rasa ketidakpuasan ini mendorong masyarakat untuk turun ke jalan. Namun, demonstrasi yang seharusnya menjadi bentuk kontrol sosial ini berujung pada insiden tragis, seperti ketika seorang pengemudi ojek online dilindas oleh aparat. Amarah yang meluap-luap kemudian berujung pada aksi destruktif, termasuk pembakaran kantor DPR dan perusakan fasilitas umum.

"Demonstrasi adalah bentuk kontrol sosial yang sah, tetapi ketika disertai tindakan anarkis, justru merugikan kepentingan bersama," kata Irwan Maulana, MPd, Dosen Institut Ummul Quro al Islami Bogor, dalam wawancara pada Kamis, 4 September 2025.

Lebih jauh, demonstrasi ini juga menunjukkan betapa rentannya aksi-aksi tersebut disusupi oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersendiri, yang dapat merusak persatuan bangsa. Konten-konten provokatif di media sosial semakin memperkeruh suasana, membuat masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan hoaks, terutama dengan tingkat literasi yang masih rendah.

"Kita belajar bahwa seorang pemimpin harus bijak dan peka terhadap suara rakyat. Empati dan keberanian untuk mengoreksi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik," tambah Irwan.

Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan untuk tetap menjaga nalar sehat, menyalurkan aspirasi secara konstitusional, dan menolak provokasi yang dapat memecah belah.

Demonstrasi bukan sekadar teriakan di jalan, melainkan cerminan keresahan yang muncul akibat jarak antara rakyat dan penguasa. Jika pemerintah mampu mendengar dan merespons dengan kebijakan yang adil, maka suara yang menggema di jalan bisa menjadi energi positif untuk memperkuat demokrasi dan menjaga keutuhan bangsa.*