JAKARTA -Di tengah duka dan kepanikan akibat bencana yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, pemerintah Indonesia bergerak cepat. Lebih dari 880 ribu jiwa kini mengungsi di berbagai titik di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Angka ini sempat menembus satu juta jiwa pada puncaknya, 8 Desember 2025, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar dalam satu dekade terakhir.
Kondisi ini memaksa negara mengerahkan seluruh sumber daya yang tersedia. Presiden Prabowo Subianto, dalam kunjungan kerjanya ke Aceh pada 7 Desember lalu, langsung memimpin rapat terbatas dan menginstruksikan langkah-langkah luar biasa. Fokus utama: mencegah krisis kesehatan di tengah padatnya lokasi pengungsian.
“Keselamatan dan kesehatan warga adalah prioritas. Kita harus hadir, cepat, dan tanggap,” tegas Presiden dalam arahannya.
Menindaklanjuti perintah tersebut, Kementerian Kesehatan mengaktifkan Tenaga Cadangan Kesehatan (TCK) sejak 27 November. Hingga pertengahan Desember, lebih dari 31 ribu relawan TCK—terdiri dari tenaga medis dan nonmedis terlatih—telah disiagakan untuk bertugas di lapangan. Mereka menjadi garda terdepan dalam pelayanan kesehatan dasar, penanganan gawat darurat, hingga distribusi logistik medis di posko-posko pengungsian.
Tak hanya itu, pemerintah juga mengerahkan dokter magang yang bekerja di bawah supervisi tenaga medis TNI dan Polri. Sedikitnya 24 tenaga kesehatan militer telah diterjunkan ke Aceh menggunakan helikopter, memperkuat layanan di daerah yang sulit dijangkau. Empat helikopter medis tambahan disiapkan untuk evakuasi dan rujukan darurat.
Sementara itu, pemulihan fasilitas kesehatan terus dikebut. Sebanyak 41 rumah sakit dan 343 puskesmas di wilayah terdampak kini mulai kembali beroperasi, meski sebagian masih dalam kondisi terbatas.
Meski jumlah pengungsi mulai menurun, pemerintah menegaskan bahwa tantangan belum usai. Ancaman penyakit menular di tenda-tenda pengungsian yang padat menjadi fokus berikutnya. Koordinasi lintas kementerian dan dukungan penuh dari TNI menjadi kunci agar layanan kesehatan tetap berjalan hingga masa pemulihan tuntas.
Di tengah bencana, solidaritas dan kecepatan menjadi harapan. Negara hadir, bukan hanya dengan kebijakan, tapi dengan tangan-tangan yang bekerja di lapangan—menyeka peluh, mengobati luka, dan menjaga harapan tetap hidup.***
.png)
.png)

