JAKARTA - Puluhan warga Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, menggelar aksi damai di depan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Selasa (12/8/2025). Mereka datang untuk menyuarakan ketidakpuasan atas keputusan sepihak Kementerian Kehutanan yang mengklaim lahan seluas 1.800 hektare di desa mereka sebagai kawasan hutan.

Kedatangan mereka didampingi oleh Kepala Desa Sukawangi, Budiyanto, serta tokoh masyarakat dan perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Rombongan ini diterima langsung oleh pihak Komnas HAM di kantor pusatnya yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat.

Budiyanto menjelaskan bahwa aksi ini merupakan bentuk protes karena warga merasa hak-hak mereka dikhianati oleh pemerintah pusat. Dalam rapat yang diadakan di Badan Akuntabilitas Publik DPR RI pada 23 Juli lalu, di mana hadir perwakilan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, dan Komnas HAM, disepakati bahwa desa yang sudah ada sebelum adanya Surat Keputusan penetapan kawasan hutan seharusnya dikeluarkan dari status tersebut.

“Kesepakatan juga menyebutkan sertifikat yang terbit lebih dulu tetap sah, dan lahan akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Bahkan, kasus pidana terkait sengketa lahan ini harus dihentikan. Tapi nyatanya, justru ada empat warga kami yang ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Budiyanto.

Burhanuddin, seorang warga berusia 80 tahun, mengungkapkan keprihatinannya terhadap tindakan pemerintah yang dianggapnya sewenang-wenang. “Kami tinggal di sini sejak 1961, jauh sebelum wilayah ini disebut kawasan hutan. Kami punya girik, C desa, SK Kinag, segel, bahkan ada yang sudah sertifikat. Tapi semua itu seolah tak diakui,” ujarnya.

Ia juga menyoroti lokasi desa mereka yang berdekatan dengan kediaman Presiden RI Prabowo Subianto. “Ini ibarat masalah di halaman rumah presiden. Seharusnya jadi perhatian utama. Jangan sampai nama baik presiden tercoreng karena masalah di wilayah terdekatnya tidak terselesaikan,” kata Burhanuddin.

Warga mencatat bahwa klaim kawasan hutan tersebut mencakup fasilitas vital seperti kantor desa, sekolah, rumah ibadah, dan permukiman mereka. Ironisnya, meskipun wilayah tersebut dinyatakan sebagai kawasan hutan, mereka tetap diwajibkan membayar pajak setiap tahun.

Dengan harapan yang tinggi, warga berharap Komnas HAM dapat menjadi penengah dalam masalah ini dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati oleh pemerintah. “Kami tidak menolak program pemerintah, tapi jangan sampai kami diperlakukan seperti pendatang di tanah sendiri,” tutup Budiyanto.*