BOGOR – Upaya meningkatkan kemampuan membaca anak-anak di Babakan Madang kini memasuki babak baru. Peresmian pojok baca kelas dan penyerahan playground di SD Negeri Cipambuan pada Kamis, 30 Oktober 2025, menjadi penanda penting bahwa gerakan literasi tidak bisa lagi berjalan sendiri, tetapi membutuhkan kolaborasi seluruh unsur di lingkungan pendidikan.
Wilayah Babakan Madang selama ini dikenal menghadapi tantangan literasi yang cukup serius. Menyadari hal itu, Yayasan Kayuh Literasi Bangsa memilih pendekatan yang berbeda: membangun ekosistem belajar yang menyatukan sekolah, orang tua, dan masyarakat sekitar. Program Pojok Baca Sekolah hadir bukan hanya sebagai fasilitas, tetapi sebagai ruang interaksi yang mendorong kebiasaan membaca tumbuh secara alami.
Indira Ratna dari Kayuh Literasi menjelaskan bahwa gerakan literasi harus dimulai dari lingkungan yang mendukung, bukan sekadar menyediakan tumpukan buku di rak.
“Literasi itu tumbuh dari kebiasaan yang dibangun bersama. Guru, orang tua, dan komunitas punya peran penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang hidup,” ujar Indira.
Menurutnya, pojok baca di sekolah dirancang agar menjadi pusat aktivitas baru. Bukan hanya tempat anak membaca, tetapi ruang yang mempertemukan ide-ide kreatif, diskusi ringan, dan kegiatan belajar yang lebih menyenangkan. Ini menjadi cara agar anak-anak tidak hanya membaca karena tugas sekolah, melainkan karena rasa ingin tahu.
Kayuh Literasi juga menyiapkan program lanjutan berupa pelatihan guru, sesi pendampingan, dan kegiatan tematik yang melibatkan orang tua. Dengan pendekatan tersebut, sekolah tidak lagi memikul seluruh beban pendidikan, melainkan berbagi peran dengan keluarga dan komunitas.
“Kami tidak ingin perubahan ini berhenti di hari peresmian. Yang penting adalah keberlanjutan, dan itu bisa tercapai kalau semua pihak terlibat,” kata Indira.
Koleksi buku yang dihadirkan pun disusun agar dekat dengan keseharian anak. Mayoritas berupa buku cerita bergambar dan bacaan ringan yang memudahkan mereka mengakses dunia imajinasi tanpa tekanan.
“Kalau buku terasa seperti teman bermain, anak-anak akan mendekat dengan sendirinya. Karena itu pojok baca kami buat senyaman mungkin,” jelasnya.
Selain sebagai sarana belajar, pojok baca juga menjadi alat pemantau perkembangan literasi siswa. Guru bisa melihat bagaimana anak memilih buku, seberapa sering mereka membaca, dan bagaimana mereka memaknai bacaan.
Indira menambahkan bahwa keberhasilan literasi pada akhirnya kembali pada peran keluarga. Sekolah dapat memulai perubahan, tetapi rumah adalah tempat kebiasaan itu ditumbuhkan.
“Orang tua tetap menjadi pendidik utama. Kami ingin mereka ikut memiliki gerakan ini,” ujarnya.
Melalui kerja sama sekolah, yayasan, dan masyarakat, SD Negeri Cipambuan kini bergerak menuju model pembelajaran yang lebih inklusif. Dari ruang kecil yang diisi rak buku dan kursi baca, tumbuh harapan baru bahwa budaya literasi dapat menjadi gaya hidup, bukan sekadar target pendidikan.
Babakan Madang pun bersiap menjadi contoh bahwa perubahan literasi dimulai dari kolaborasi yang tulus dan konsisten. ***
                                                    
                                            