Oleh: Mely Budi Wardani- Mahasiswa PGSD Unisri KKN PPM Kelompok 26
KLATEN - Tanggal 24 Juli 2025 menjadi salah satu hari yang paling saya tunggu sejak awal penempatan KKN di Desa Jurangjero. Sebagai mahasiswa Universitas Slamet Riyadi Surakarta, saya datang ke desa ini bukan hanya untuk melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN), tapi juga untuk benar-benar berinteraksi, belajar, dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Salah satu program kerja individu yang saya rancang adalah “Petualangan Si Sabun dan Air: Yuk Cuci Tangan!”, sebuah kegiatan sederhana namun penuh makna.
Sejak awal, saya sadar bahwa kesehatan adalah modal utama untuk belajar dan bermain, terutama bagi anak-anak. Kebiasaan mencuci tangan mungkin terdengar sepele, tetapi saya tahu betul bahwa di balik langkah kecil ini, ada peran besar dalam mencegah penyakit. Banyak anak tahu bahwa mencuci tangan itu penting, tetapi belum tentu memahami bagaimana dan kapan harus melakukannya dengan benar.
Pagi itu, saya tiba di MIS Islamiyah Ngawinan, salah satu sekolah dasar di Desa Jurangjero, dengan semangat yang membuncah. Mushola sekolah menjadi lokasi kegiatan kami. Anak-anak kelas V sudah berkumpul, beberapa tampak malu-malu, namun matanya berbinar penuh rasa penasaran. Saya membawa media sederhana—poster bergambar tokoh “Si Sabun” dan “Si Air” agar pembelajaran terasa lebih menyenangkan.
Saya memulai dengan cerita. “Ada dua sahabat bernama Si Sabun dan Si Air,” kata saya, memancing rasa ingin tahu mereka. Saya ceritakan bagaimana kedua sahabat ini bekerja sama melawan kuman-kuman nakal yang bisa membuat kita sakit. Anak-anak tersenyum, beberapa tertawa kecil ketika saya menirukan suara “kuman” yang sedang dikalahkan.
Setelah itu, saya mengajak mereka melihat dan mempraktikkan langsung enam langkah mencuci tangan yang benar. Awalnya, beberapa anak masih bingung, tapi setelah saya ulangi sambil menyanyi lagu sederhana yang saya ciptakan untuk menghafal langkah-langkahnya, mereka mulai mengikuti dengan antusias. Tangan-tangan kecil itu bergerak lincah, berusaha meniru gerakan saya.
Tentu saja, ada tantangan. LCD proyektor yang saya butuhkan untuk menampilkan video edukasi harus bergantian dengan teman KKN lain, sehingga saya harus mengubah urutan kegiatan. Alih-alih memutar video di awal, saya memindahkannya ke akhir sesi. Kejadian itu mengajarkan saya untuk tetap fleksibel dan siap beradaptasi.
Sesi permainan edukatif menjadi bagian yang paling seru. Saya membuat kuis cepat—saya akan bertanya “Kapan harus cuci tangan?” dan anak-anak berebut mengangkat tangan sambil berseru, “Sebelum makan!”, “Setelah bermain!”, “Setelah dari toilet!”. Saya melihat rasa percaya diri mereka tumbuh seiring berjalannya kegiatan.
Momen yang paling menyentuh hati adalah ketika seorang siswa berkata kepada saya, “Kak, nanti aku mau ajarin adikku cuci tangan kayak tadi.” Ucapan sederhana itu membuat lelah saya terbayar lunas. Saya sadar, apa yang saya ajarkan hari itu bisa berlanjut dan menyebar, bahkan di luar lingkungan sekolah.
Menutup kegiatan, kami berfoto bersama. Anak-anak tersenyum lebar sambil memamerkan tangan bersih mereka. Saya pun pulang dengan hati hangat. Hari itu saya belajar bahwa pengabdian bukan hanya tentang program besar atau biaya besar, tapi tentang bagaimana kita bisa menanamkan kebiasaan baik yang akan berdampak jangka panjang.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa untuk membuat perubahan, kita tidak harus memulai dari hal yang rumit. Cukup dari satu kebiasaan kecil yang dilakukan dengan benar, kita bisa membantu menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Dan bagi saya, “Petualangan Si Sabun dan Air” bukan hanya program kerja KKN—ini adalah cerita tentang harapan, kebersamaan, dan langkah kecil menuju masa depan yang lebih baik.
.png)
.png)

