BOGOR — Keputusan sepihak Pondok Pesantren Nurul Furqon, Cibinong, yang melarang sepuluh santri mengikuti ujian Syahadah Al-Qur’an menuai gelombang kritik tajam dari para orang tua. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai bukti krisis keadilan dan ketimpangan dalam tata kelola disiplin pesantren.

Insiden yang memicu sanksi itu terjadi beberapa bulan lalu, ketika sepuluh santri diduga memukuli rekan sesama santri yang dituduh mencuri barang milik mereka. Namun, alih-alih menyelidiki secara menyeluruh akar masalah yakni dugaan pencurian berulang pihak pesantren justru langsung menjatuhkan sanksi berat kepada pelaku pemukulan.

“Ini bukan hanya soal pelanggaran disiplin, tapi soal bagaimana lembaga mendidik dan memberi rasa aman kepada semua santri. Dalam kasus ini, kami melihat ketimpangan yang serius,” ujar Irawansyah, S.H., M.H., kuasa hukum para wali santri, Sabtu (10/5/2025).

Ia menilai sikap pengelola pondok tidak mencerminkan prinsip musyawarah, pendidikan, dan keadilan. Pencurian yang disebut-sebut terjadi secara berulang, justru tidak pernah ditangani serius, hingga akhirnya menimbulkan tindakan main hakim sendiri oleh para santri yang frustrasi.

“Kita tidak membenarkan kekerasan, tapi mengabaikan akar persoalan adalah bentuk kelalaian sistemik,” ujarnya.

Surat resmi dari yayasan yang menyatakan larangan mengikuti Syahadah, menurut para orang tua, tidak disertai dasar hukum yang kuat dan berpotensi menghambat masa depan pendidikan anak-anak mereka.

“Syahadah bukan sekadar ujian, tapi simbol perjalanan spiritual dan akademik santri. Menghalangi mereka ikut serta tanpa kejelasan proses hukum dan keadilan, sungguh melukai hati kami sebagai orang tua,” kata seorang wali santri.

Para wali santri kini mempertimbangkan gugatan hukum terhadap yayasan serta menuntut evaluasi terhadap tata kelola lembaga pendidikan berbasis pesantren, yang kerap tertutup dari pengawasan eksternal.

Sampai berita ini ditulis, pengelola Pondok Pesantren Nurul Furqon belum memberikan tanggapan atas tuntutan para wali.*