JAKARTA – Di balik dua tonggak sejarah besar Indonesia, pembebasan Irian Barat dan pemulihan ekonomi nasional terdapat dinamika hubungan strategis antara Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto. Meski kerap digambarkan dalam bayang-bayang ketegangan politik di kemudian hari, fase awal hubungan keduanya justru menunjukkan kolaborasi yang saling melengkapi dalam menghadapi tantangan bangsa.

Setelah Belanda menolak menyerahkan Irian Barat pasca pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, Soekarno menempuh jalur diplomasi selama lebih dari satu dekade. Namun, kebuntuan membuatnya mengambil langkah militer dengan mengumumkan Trikora pada 19 Desember 1961.

Dalam konteks inilah Soeharto muncul sebagai figur kunci. Dilantik sebagai Panglima Mandala pada Februari 1962, Soeharto diberi wewenang penuh untuk merancang dan melaksanakan strategi militer. Tahapan infiltrasi, eksploitasi, dan konsolidasi yang ia susun menjadi kerangka operasional yang efektif dalam menekan posisi Belanda di Papua Barat.

Keberhasilan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga diplomatik. Penyerahan Irian Barat melalui Perjanjian New York 1962 menjadi bukti bahwa sinergi antara visi politik Soekarno dan eksekusi militer Soeharto mampu menghasilkan hasil konkret bagi integrasi nasional.

Hubungan keduanya kembali diuji saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi akut pada pertengahan 1960-an. Inflasi meroket hingga lebih dari 500 persen, dan kepercayaan publik terhadap stabilitas negara mulai goyah.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Dalam situasi genting ini, Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966, yang memberi Soeharto kewenangan untuk memulihkan ketertiban dan stabilitas nasional. Langkah ini menjadi titik balik dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Soeharto kemudian merancang Program Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan fokus pada stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan, Pelita berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7 persen selama dua dekade berikutnya.

Kolaborasi Dua Era: Visi dan Eksekusi

Meski sejarah mencatat perbedaan jalan politik keduanya di masa berikutnya, fase awal hubungan Soekarno dan Soeharto menunjukkan pentingnya sinergi antara visi kepemimpinan dan kemampuan eksekusi. Soekarno sebagai arsitek ideologis dan Soeharto sebagai pelaksana strategis menciptakan kombinasi yang efektif dalam menghadapi tantangan nasional.

Dari pembebasan Irian Barat hingga stabilisasi ekonomi, keduanya menunjukkan bahwa keberhasilan nasional tidak hanya ditentukan oleh satu tokoh, tetapi oleh kemampuan untuk bekerja sama dalam kerangka kepentingan bangsa.*