Petani subsisten memegang peranan krusial dalam menjaga stabilitas pangan di tengah krisis global, tetapi keberadaan mereka kerap tak terlihat dalam radar kebijakan nasional. Di pelosok negeri, mereka menanam padi, jagung, dan umbi-umbian di lahan sempit untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan komunitas di lingkungan mereka. Meski beroperasi dalam keterbatasan, dari segi teknologi hingga akses pasar, kontribusi mereka terhadap ketahanan pangan tidak bisa dikesampingkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, lebih dari 17 juta rumah tangga tani di Indonesia masih tergolong sebagai petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektare, sebagian besar dari mereka adalah petani subsisten. Di tengah tekanan perubahan iklim, fluktuasi harga pupuk, dan dominasi agribisnis dalam skala besar, mereka tetap menanam, merawat, dan memanen demi satu hal: agar tidak ada keluarga yang kelaparan.
Petani subsisten menanam bukan untuk pasar, melainkan untuk bertahan. Namun, ketahanan pangan yang mereka jaga bukan hanya soal ketersediaan makanan, tetapi juga soal keanekaragaman hayati dan keberlanjutan lingkungan. Sistem pertanian mereka yang berbasis tradisi seringkali lebih ramah lingkungan dibanding pertanian intensif modern. Penelitian dari FAO menyebutkan bahwa pertanian skala kecil, termasuk sistem subsisten, cenderung lebih adaptif terhadap perubahan iklim karena menggunakan bibit lokal dan teknik tanam yang disesuaikan dengan kondisi ekologis setempat. Dalam konteks ini, petani subsisten adalah penjaga biodiversitas dan lanskap agroekologi Indonesia. Mereka menyimpan benih-benih lokal yang tak tergantikan oleh varietas hibrida pabrikan. Di daerah pegunungan Jawa Barat, misalnya, petani tetap melestarikan padi lokal jenis “pare gede” dan “pare ketan” yang hanya bisa tumbuh dengan metode penanaman tradisional.
Namun, tantangan mereka sangat kompleks. Ketimpangan akses terhadap teknologi dan modal menjadi penyebab utama stagnasi produktivitas. Banyak petani masih menggunakan cangkul, memanfaatkan tenaga kerbau, dan tidak mampu membeli pupuk kimia. Mereka juga kerap terjerat utang ke tengkulak karena tidak memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Meski pemerintah telah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR), prosedurnya dinilai rumit dan tidak ramah bagi petani kecil yang minim literasi keuangan. Situasi ini diperparah oleh perubahan iklim yang semakin ekstrem. Cuaca tak menentu juga dapat menyebabkan gagal panen, seperti yang terjadi pada awal 2024 ketika banjir dan kekeringan melanda secara bersamaan di beberapa provinsi di Sumatera dan Nusa Tenggara Timur. Fenomena El Niño turut memperburuk kondisi, menyebabkan musim tanam bergeser dan pasokan air irigasi menurun drastis.
Selain itu, kebijakan pertanian nasional masih terlalu fokus pada skala besar dan orientasi ekspor. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman terus berlangsung tanpa kontrol yang memadai. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama tahun 2023, terjadi konflik agraria pada 212 kasus, dan mayoritas korbannya adalah petani kecil yang lahannya diklaim atau digusur untuk kepentingan komersial. Dalam hal ini, petani subsisten menjadi pihak yang paling rentan karena posisi tawar mereka sangat lemah. Ketiadaan legalitas tanah, minimnya pendampingan hukum, dan lemahnya pengorganisasian membuat suara mereka nyaris tak terdengar di ruang pengambilan kebijakan. Ketika krisis pangan dunia terjadi akibat perang Ukraina-Rusia dan gejolak ekonomi global, Indonesia seharusnya menjadikan sektor pertanian rakyat sebagai prioritas utama demi kemandirian pangan nasional.
Meski menghadapi banyak tantangan, tidak sedikit petani subsisten yang berhasil bertransformasi dengan pendekatan kreatif. Di Bali, studi yang dilakukan oleh Dr. Ir. Gede Sedana menunjukkan bahwa melalui dukungan irigasi air tanah dan manajemen kelembagaan yang baik, petani di Buleleng berhasil meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka secara signifikan. Mereka mengadopsi teknik tanam hemat air, membentuk koperasi lokal, dan mulai menjual hasil panen secara kolektif ke pasar kota. Sementara itu, di Desa Argorejo, Bantul, kelompok tani berinovasi dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk pupuk organik dan pakan ternak. Mereka bahkan menciptakan produk olahan bernilai tambah seperti keripik daun singkong dan minuman fermentasi alami, menjadikan petani bukan hanya produsen pangan, tetapi juga wirausahawan desa.
Perlu dicatat pula, bahwa dukungan kebijakan mulai diarahkan ke petani kecil melalui regulasi seperti PP Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM di sektor pertanian. Langkah ini patut diapresiasi karena memberikan napas lega bagi para petani yang selama ini terbebani utang lama dan membuka peluang bagi mereka untuk kembali bangkit. Namun, kebijakan seperti ini tidak cukup jika tidak dibarengi dengan sistem pendampingan berkelanjutan, peningkatan kapasitas SDM pertanian, serta penguatan peran penyuluh lapangan yang selama ini jumlahnya terus menurun. Penyuluh yang memahami kondisi sosial dan budaya setempat mampu menjadi jembatan antara teknologi modern dan kearifan lokal yang dimiliki petani subsisten.
Agar petani subsisten tidak terus menjadi “penjaga pangan yang terabaikan”, pendekatan pembangunan pertanian harus bergeser dari paradigma top-down menjadi partisipatif. Artinya, kebijakan harus dibangun berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan, bukan semata-mata berdasarkan proyeksi ekonomi makro. Pemerintah dan akademisi harus membuka ruang dialog aktif dengan petani, melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan evaluasi program. Pelatihan pertanian berbasis komunitas perlu ditingkatkan, disesuaikan dengan konteks lokal. Misalnya, memperkenalkan teknik pertanian permakultur yang cocok untuk lahan sempit, memperluas sistem pertanian terpadu dengan ternak, serta penggunaan pupuk hayati dari bahan alami yang tersedia di sekitar mereka.
Solusi juga bisa datang dari penguatan jaringan antar petani melalui koperasi dan komunitas digital. Platform digital pertanian seperti TaniHub dan LimaKilo yang mempertemukan petani dengan konsumen langsung, telah terbukti mampu memotong rantai distribusi panjang dan meningkatkan margin keuntungan petani. Dengan pelatihan dan pendampingan yang tepat, petani subsisten pun bisa mengakses pasar digital dan memperluas jangkauan mereka. Di era konektivitas ini, digitalisasi tidak harus menjadi milik petani besar saja. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi jaringan internet desa dan pelatihan e-commerce dasar bagi petani kecil untuk membuka akses yang selama ini tertutup.
Petani subsisten bukan hanya pekerja lahan yang berjibaku dengan lumpur dan terik matahari, mereka adalah benteng terakhir dalam sistem pangan nasional yang rapuh menghadapi guncangan global. Di saat industri agribisnis cenderung mengejar volume dan ekspor, petani subsisten justru menjaga kualitas hidup komunitas lokal dan kelestarian alam. Mereka bekerja dalam senyap namun hasilnya nyata: anak-anak tetap makan, pasar desa tetap hidup, dan tanah tetap lestari. Sudah saatnya negara mengakui dan memberdayakan mereka sebagai mitra strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Selama sepetak sawah masih ditanami dan petani subsisten masih bertahan, Indonesia tak akan benar-benar kelaparan. Mereka adalah pondasi kedaulatan pangan penopang pasar desa, penjaga tanah, sekaligus penyambung hayat 280 juta warga negeri. Tugas kita bukan memarginalkan, tapi memperbesar ruang gerak mereka agar anak-anak tetap makan, bumi tetap hijau, dan republik tetap berkecukupan, apa pun gejolak pasar dunia. ( Zidane Akbar Saputra )
.png)
.png)
