JAKARTA - Pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi keluarga Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, justru berujung duka mendalam. Kericuhan dalam pesta rakyat yang digelar di Alun-alun Pendopo Garut, Jumat, 18 Juli 2025, menelan tiga korban jiwa: dua warga sipil dan seorang anggota kepolisian.

Kombes Pol Hendra Rochmawan, Kabid Humas Polda Jawa Barat, mengkonfirmasi adanya korban jiwa, termasuk seorang Bhabinkamtibmas. Identitas lengkap para korban masih dalam proses identifikasi.

Dedi Mulyadi sendiri mengaku tidak mengetahui adanya acara makan bersama dalam rangkaian pernikahan putranya, Maula Akbar Mulyadi Putra, dengan Putri Karlina, Wakil Bupati Garut. Ia menyampaikan duka cita mendalam dan permohonan maaf kepada keluarga korban, serta memberikan santunan masing-masing Rp150 juta sebagai bentuk belasungkawa.

Analisa Sosial Ari Sumarto Taslim: Manajemen Kerumunan yang Buruk dan Minimnya Sensitivitas Sosial

Pengamat sosial Ari Sumarto Taslim menilai tragedi ini sebagai cerminan perencanaan dan manajemen risiko yang lemah dalam acara publik yang melibatkan pejabat tinggi.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

"Ini bukan sekadar insiden teknis. Ini soal etika sosial, tanggung jawab struktural, dan lemahnya pemetaan potensi risiko," kata Ari kepada awak media, Sabtu 19 Juli 2025.

Ari menekankan bahwa pesta rakyat yang mengundang massa besar memerlukan protokol pengamanan yang ketat, terutama karena melibatkan tokoh publik.

"Kita sedang bicara tentang acara pejabat publik di ruang publik. Harusnya ada kalkulasi crowd control, sistem antrean, manajemen logistik makanan, hingga pemetaan zona aman. Bukan sekadar undang makan rame-rame tanpa simulasi lapangan," tambahnya.

Solusi Strategis: Evaluasi Komprehensif dan Protokol Acara Publik untuk Pejabat

Ari Sumarto Taslim menawarkan tiga solusi utama untuk mencegah terulangnya kejadian serupa:

1. Regulasi Ketat untuk Acara Publik Pejabat

Pemerintah daerah perlu membuat aturan yang jelas mengenai penyelenggaraan acara publik oleh pejabat, termasuk standar jumlah tamu, sistem distribusi konsumsi, dan koordinasi wajib dengan pihak keamanan dan medis.

2. Keterlibatan Profesional Event Organizer dan Emergency Planner

"Jangan mengandalkan tim internal atau relawan politik. Acara sebesar ini butuh pihak profesional dengan pengalaman menangani crowd besar," tegas Ari.

3. Pendidikan Etika Kepemimpinan bagi Pejabat dan Keluarga

Ari berpendapat bahwa keluarga pejabat perlu dibekali pengetahuan tentang dampak sosial dari aktivitas publik mereka, bukan hanya sekadar menunjukkan empati setelah kejadian, tetapi membangun kesadaran preventif sejak awal.

Tragedi ini menyentuh hati saya sebagai seorang pengamat dan sebagai manusia. Saya membayangkan betapa terpukulnya keluarga korban, dan betapa pentingnya bagi kita semua untuk belajar dari kejadian ini.

Penutup: Tragedi Sebagai Momentum Perubahan

Insiden memilukan ini, menurut Ari Sumarto Taslim, dapat menjadi titik balik menuju tata kelola acara publik yang lebih baik dan mengutamakan keselamatan masyarakat.

"Empati bukan hanya datang dari uang duka. Empati sejati adalah memastikan tragedi tidak terulang lewat kebijakan yang matang dan berorientasi keselamatan rakyat," pungkasnya.*