JAKARTA - Di tengah gelombang perubahan masif dunia informasi, Dewan Pers kini memasuki babak baru. Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim dan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, resmi memimpin lembaga tersebut untuk periode 2025–2028. Serah terima jabatan (sertijab) dari ketua sebelumnya, Ninik Rahayu, dilaksanakan dengan khidmat di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu kemarin (14/5/2025).

Pengangkatan Komaruddin ditegaskan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16/M Tahun 2025. Penunjukan ini menandai komitmen negara terhadap kesinambungan kepemimpinan yang tidak hanya paham jurnalisme, tapi juga memiliki visi etik dan akademik di tengah era digital yang disruptif.

"Pers saat ini tidak hanya ditantang untuk cepat dan akurat, tapi juga untuk tetap memegang nilai-nilai etika dalam iklim digital yang penuh disinformasi," kata Komaruddin dalam sambutannya. “Kami akan memperkuat kembali pilar-pilar etik dalam dunia jurnalistik, sambil menjawab tantangan zaman.”

Acara tersebut turut dihadiri oleh berbagai tokoh lintas sektor, sinyal kuat bahwa keberlangsungan dan kemerdekaan pers menjadi agenda bersama. Hadir Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, Wamen PPPA Veronica Tan, Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai, serta Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho.

Dengan struktur baru yang solid dan lintas disiplin, Komaruddin akan bekerja bersama Wakil Ketua Totok Suryanto serta sejumlah tokoh dengan rekam jejak kuat. Muhammad Jazuli akan menangani Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Abdul Manan di Komisi Hukum dan Perundang-undangan, dan Busyro Muqoddas memimpin Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Nama-nama lain seperti Rosarita Niken Widiastuti (Kemitraan), Yogi Hadi Ismanto (Penelitian dan Pendataan), Maha Eka Swasta (Informasi dan Komunikasi), serta Dahlan Dahi (Digital dan Sustainability) memperkuat kesan bahwa Dewan Pers periode ini tidak hanya etis, tetapi juga siap secara teknologis.

Keseimbangan antara idealisme dan pemahaman terhadap lanskap digital tampak menjadi pendekatan utama Komaruddin. Di tengah gempuran artificial intelligence, platform global, dan krisis eksistensi media lokal, Dewan Pers diharapkan tak hanya menjadi penjaga etik, tapi juga fasilitator perubahan.

“Etika jurnalistik tak boleh menjadi korban teknologi. Justru, teknologi harus diarahkan agar sejalan dengan nilai-nilai profesionalisme dan kebenaran,” tegas Komaruddin.

Kini, publik menanti realisasi langkah-langkah nyata dari kepengurusan baru ini seperti perlindungan terhadap jurnalis, penyusunan pedoman baru terkait penggunaan AI dalam jurnalistik, hingga penyelamatan media lokal yang kian terpinggirkan.

Komaruddin Hidayat, dengan bekal akademik dan pengalamannya, diharapkan menjadi jangkar moral sekaligus kompas arah baru bagi pers Indonesia. Sebuah harapan yang tidak ringan, tetapi sangat dibutuhkan. (***)