TERNATE - Front Perjuangan Demokrasi (FPD) melaksanakan aksi unjuk rasa di depan Mapolda Maluku Utara. Aksi ini bertujuan untuk menuntut pembebasan 11 pejuang lingkungan dari masyarakat adat Maba Sangaji yang ditahan, serta mendesak pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki oleh PT. Position, pada Kamis 17 Juli 2025.

Aksi yang dimulai pukul 17.00 WIT ini dipimpin oleh koordinator lapangan, Yasin Majid, dan dihadiri oleh sekitar 15 peserta. Mereka membawa alat peraga simbolik, termasuk empat payung hitam yang melambangkan duka, perlindungan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Spanduk dan pamflet yang dibawa peserta berisi tuntutan dan pesan solidaritas, seperti: “Bebaskan 11 Tahanan Politik Warga Maba Sangaji”, “Tambang Harus Tumbang”, dan “Melindungi Hutan Bukan Kriminal.”

Menurut Amin Yasim, salah satu warga Maba Sangaji, penangkapan terhadap koleganya bukanlah sekadar penegakan hukum, melainkan upaya sistematis untuk membungkam perjuangan masyarakat adat. Ia menilai kepolisian lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang rakyat.

“Ini jelas menunjukkan sikap polisi yang terang-terangan membela perusahaan dan tidak menyelesaikan konflik tanah adat di Maba Sangaji. Padahal tugas polisi untuk melayani dan mengayomi masyarakat,” ujarnya saat aksi berlangsung.

Amin juga menekankan bahwa warga tidak sedang melakukan tindakan kriminal. Mereka hanya mempertahankan tanah ulayat yang telah dijaga turun-temurun sebagai sumber hidup. “Setiap kali warga melawan, mereka selalu dicap sebagai kriminal. Padahal mereka hanya mempertahankan ruang hidupnya dari kesewenang-wenangan perusahaan,” tambahnya.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Ia juga menyayangkan sikap pasif pemerintah daerah, terutama Bupati Halmahera Timur, Ubaid Yakub, yang dinilainya tidak menunjukkan upaya serius dalam menangani konflik ini. “Bupati Haltim Ubaid Yakub tidak ada tanda-tanda mengambil satu keputusan serius untuk menyelesaikan masalah tanah adat di Haltim. Ini potret kebusukan pemerintah kita saat ini,” ucap Amin.

FPD mengkritik kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi nikel, yang dinilai merugikan masyarakat adat. Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), terdapat 127 IUP aktif di Maluku Utara, termasuk 62 IUP nikel yang tersebar di Halmahera, mencakup lebih dari 239 ribu hektare. Eksploitasi yang masif ini menyebabkan deforestasi yang signifikan, dengan Global Forest Watch (GFW) mencatat hilangnya puluhan ribu hektare tutupan hutan di Halmahera sejak 2001 hingga 2023.

Kerusakan lingkungan semakin parah di wilayah adat Maba Sangaji sejak PT. Position beroperasi dengan IUP seluas 4.017 hektare untuk periode 2017–2037. PT. Position diketahui dimiliki oleh PT Tanito Harum Nickel (THN) dan Nickel International Kapital Pte., Ltd dari Singapura. THN berafiliasi dengan PT Harum Energy Tbk yang dimiliki oleh Kiki Barki, salah satu orang terkaya di Indonesia.

Masyarakat adat Maba Sangaji menolak kehadiran PT. Position sejak akhir 2024, karena perusahaan ini beroperasi tanpa persetujuan warga, mencemari sungai, dan merusak hutan adat. Pada 18 Mei 2025, saat warga melakukan ritual adat di dalam konsesi PT. Position, 27 orang ditangkap, dan 11 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

FPD menilai proses hukum terhadap warga adat cacat prosedur, di mana mereka mengalami kekerasan, pemaksaan tanda tangan dokumen, hingga tes urin secara paksa. Meskipun demikian, praperadilan pada 16 Juni 2025 tetap mengesahkan penetapan tersangka.

Aksi solidaritas terhadap ke-11 warga ini juga mendapat respons represif dari aparat. Beberapa peserta aksi mengalami pemukulan, intimidasi, bahkan pelecehan seksual oleh oknum aparat.

Dalam aksi tersebut, FPD menyampaikan enam tuntutan utama: 1. Polda Maluku Utara segera menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). 2. Bebaskan 11 tahanan politik masyarakat adat Maba Sangaji. 3. Cabut IUP PT. Position secara permanen. 4. Hentikan segala bentuk represifitas terhadap gerakan rakyat dan pulihkan nama baik warga. 5. Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan tolak revisi UU Polri. 6. Sahkan RUU Masyarakat Adat dan usut tuntas kasus kekerasan di Halmahera Timur dan Tengah.

Aksi FPD ini mencerminkan ketegangan antara masyarakat sipil dan aparat negara dalam konteks konflik agraria dan industri ekstraktif. Diharapkan pemerintah daerah, khususnya Pemprov Maluku Utara, segera merespons aspirasi dan keresahan masyarakat demi keadilan ekologis dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Aksi ditutup pada pukul 18.20 WIT dalam keadaan tertib dan damai.*