JAKARTA - Ratusan orang dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul di depan Gedung PT Position, Jakarta, pada Rabu (20/8/2025) untuk menyuarakan penolakan terhadap kriminalisasi yang menimpa 11 warga adat Maba Sangaji dari Halmahera Timur, Maluku Utara. Mereka kini terjebak dalam proses hukum karena menolak ekspansi tambang nikel yang mengancam tanah adat mereka.
Aksi ini bertepatan dengan sidang lanjutan kasus tersebut. Dalam orasi yang menggugah semangat, para demonstran menegaskan bahwa tindakan kriminalisasi ini merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat yang berjuang untuk mempertahankan tanah dan hutan warisan leluhur mereka.
“Kriminalisasi ini tidak bisa dibiarkan. Mereka yang seharusnya dilindungi malah dikorbankan demi kepentingan perusahaan tambang,” teriak salah seorang orator aksi.
Para peserta juga menampilkan aksi teatrikal yang menggambarkan penderitaan masyarakat adat akibat perampasan tanah, hutan, dan laut oleh industri tambang.
Menurut data dari jaringan advokasi, pemerintah telah menerbitkan 127 izin tambang di Maluku Utara, dengan total luas mencapai 655.581 hektar. Aktivitas tambang ini telah menyebabkan dampak serius, termasuk perampasan tanah adat, kerusakan hutan, pencemaran sungai dan laut, serta penggusuran masyarakat adat dari ruang hidup mereka.
PT Position dituduh sebagai salah satu perusahaan yang paling banyak menimbulkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan di Halmahera Timur. Laporan menunjukkan bahwa perusahaan ini memperluas konsesi tanpa memperhatikan hak ulayat dan melakukan aktivitas pertambangan tanpa analisis dampak lingkungan yang transparan.
“Air sungai kami keruh, laut tempat kami mencari ikan sudah tercemar, sementara hutan tempat kami menggantungkan hidup perlahan habis,” ungkap seorang perwakilan warga Maba Sangaji dalam pernyataan sikap.
Massa aksi mendesak pemerintah pusat untuk segera menghentikan kriminalisasi terhadap 11 warga adat Maba Sangaji dan meninjau kembali izin tambang yang diberikan kepada PT Position. Mereka menekankan bahwa pembangunan seharusnya berpihak pada rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan, bukan sebaliknya.
“Kami menuntut keadilan bagi 11 saudara kami. Jangan jadikan hukum sebagai alat menindas masyarakat kecil,” tegas salah satu koordinator aksi.
Gelombang protes ini menjadi simbol perlawanan masyarakat adat terhadap praktik tambang yang merusak tanah leluhur. Suara mereka kini menggema hingga ibu kota, menanti jawaban dari pemerintah dan aparat penegak hukum.*
.png)
.png)

