Proposal THR Sekedar Permohonan Berbagi Bersama, Jumadil Qubro: Bukan Pungli

Proposal THR Sekedar Permohonan Berbagi Bersama, Jumadil Qubro: Bukan Pungli

Smallest Font
Largest Font

TANGERANG-Fenomena THR ( Tunjangan Hari Raya ) sudah menjadi Hal lumrah di saat persiapan menghadapi Idul fitri bagi Kaum Muslim di Indonesia.

Akhir akhir ini di media massa dan TV Tanah air Viral sebuah pemberitaan Organisasi BNN Kota TasikMalaya memohon Partisipasi THR kepada perusahaan Otto Bus PO Budiman mendadak Viral yang berakhir penonaktifan Kepala BNN Kota Tasik Malaya,  Belum lagi berita berita lain di Tanah Air  Kenapa ini bisa dikatakan Pungli ( Pungutan Liar ).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pungli juga merupakan akronim ataupun singkatan dari kata pungutan liar yang berarti tindakan meminta sesuatu berupa uang dan lain sebagainya kepada seseorang, lembaga ataupun perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim.

Pungli adalah salah satu tindakan melawan hukum yang diatur dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 junto. Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pungutan liar adalah termasuk tindakan korupsi dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus diberantas.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Kita ketahui semarak Idul Fitri tentunya tidak semua orang bisa melaksanakan atau bersuka ria setelah menjalankan Puasa  Ramadhan sebulan penuh,  Kekuatan ekonomi seseorang atau kemampuan seseorang dalam pemenuhan akan kebutuhan menghadapi Lebaran dimana harga harga kebutuhan melambung tinggi, bagi ekonomi mapan tentu ini tidak akan berpengaruh secara signifikan  Makanya berbagi kesempatan bersama ini untuk saling bahu membahu, saling topang antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya , majikan dengan anak buahnya, Pengusaha dengan karyawannya atau atasan dengan bawahannya.

Puasa adalah Ibadah Ritual yang mengajarkan kita untuk bisa saling merasakan, puasa adalah dimensi sosial yang hakiki dimana kita sama sama lapar, sama sama tidak makan, jurang antara si Kaya dan si miskin saat berpuasa tidak akan terlihat, perbedaan tingkat sosial mereka akan terlihat ketika saat berbuka dan saat menghadapi lebaran. Tentu si miskin akan berbuka seadanya ditempat tinggal atau dipinggir pinggir jalan dan gubuknya, namun berbeda dengan si Kaya tentu akan berbeda baik menu dan tempat mereka berbuka bisa di Restoran, cafe cafe bahkan di Hotel berbintang. Begitu pula saat berlebaran ini akan terlihat perbedaan itu tampak signifikan, baik dari pakaian, menu makanan atay bahkan tujuan wisata tentu akan berbeda 

Dari kondisi di atas, fenomena pengajuan THR salah satunya berasal dari keadaan sosial tersebut. Makanya kita di wajibkan untuk berzakat fitrah, bersedekah atau berbagi takjil di saat berbuka puasa dengan para kaum termarginalkan. 

Organisasi, LSM, Ormas atau Paguyuban paguyuban di daerah atau lokal yang administrasi dan kekuatan ekonominya masih lemah, banyak mengajukan proposal proposal pengajuan THR ke Instansi baik pemerintah maupun swasta, ke perusahaan atau ke pihak yang di anggap "Baik baik Saja" ekonominya baik secara resmi atau sembunyi sembunyi dengan secarik kertas resmi ber Kop surat dan bertanda tangan, pengajuan ini dianggap ingin saling berbagi dan tentunya lebih jauh lagi memiliki hubungan emosional hari ini dan  tetap dijaga dikemudian hari dalam artian kemitraan akan saling dijaga.

Surat surat itu di anggap pungli dan " Dosa" yang harus di tolak akhir akhir ini, bahkan di anggap kejelekan yang harus di bongkar dan di publikasikan.

Publik tentu akan menilai ini beragam ada yang pro ada yang kontra, apalagi yang menjadi tujuan surat ini tanpa konfir panjang langsung memviralkan surat pengajuan THR ini di medsos tentu ini sangat tidak bijak. 

Bagi para pengusaha, Orang mampu, Pedagang besar tentu secara terbuka dan ada kelebihan untung yang harus di rasakan oleh para pelanggan, karyawan atau koleganya, tentunya tanpa ada mereka pasar tentu tak akan terjadi transaksi. Dimana ada supply disitu ada demand. 

Yang menjadi permasalah adalah.ketika pengajuan ini dipaksakan agar di berikan dengan berbagai ancaman dan teror. Ini yang melanggar tentu ada pidana nya, namun jika pengajuan ini secara baik baik lalu serta merta langsung di Viralkan dan dipublikasikan tentu ini tidak arif. 

Menurut pandangan saya, pengajuan THR yang di ajukan baik baik bukan pungli, kita selalu alergi dengan kata pungli padahal kita bisa temukan berbagai kasus yang bisa dikatakan pungli bertebaran di dinas dinas dan instansi pemerintahan, 

Pungutan akan bijak jika pemberian yang dilakukan secara sukarela dan yang menerima tidak memaksa apalagi menetapkan jumlah Rupiah dalam pungutannya, semua pihak saling menjaga. 

Jika pengajuan THR ini bukanlah pungli, pengajuan THR salah satu keadaan yang biasa dilakukan antara Bos dan majikan, Pengusaha dengan koleganya, Pemerintah dengan masyarakatnya, bahkan Ulama dengan santrinya, THR ini lumrah  dan biasa karena bagi mereka yang bukan pekerja kantor, pemerintah atau perusahaan tentu tidak memiliki THR ini.

Lebaran perlu ada Tunjangan, ibarat motor standart tentu satu tidak akan cukup makanya makanya perlu Standart Ganda, istilah orang sunda kerap di sebut "Tutunjang".

Semoga masyarakat kita tidak terlalu mudah bicara Pungli alias pungutan liar terhadap sesuatu yang secara ensensinya hanya di waktu waktu sesaat dan tidak berkesinambungan.

Pungli  kita sepakati dimana saja berada kita harus basmi, karena bicara pungli tentu semua orang tidak akan senang. 

Untuk itu jangan sampai setiap proposal secara resmi yang berkaitan dengan situasi dimana sebuah moment bersama, tentu lebih arif dan bijaksana.

Tidak mudah mengatakan Pungli dan tentu jangan biarkan Pungli menguasai Indonesia dan tidak semua pengajuan tunjangan itu PUNGLI.

Tetap waspada banyak pihak yang melakukan pungli atas nama THR, dan tidak semua pengajuan THR adalah pungli. Selama wajar dan tidak memaksa.

Penulis : Jumadil Qubro ( Aktivis Sosial )

Editors Team
Daisy Floren

Galeri