Poligami adalah Praktek Yang di Benarkan Agama Untuk Hindari Perzinahan
TANGERANG-Setiap wanita pasti tidak suka kalau suaminya kawin lagi. Jangankan wanita biasa, bahkan seorang Aisyah isteri nabi Muhammad SAW sekalipun, sangat tidak suka kalau suaminya kawin lagi.
Padahal, yang dinikahi beliau SAW semuanya wanita tua, janda lagi. Padahal satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah SAW dalam keadan perawan, muda dan cantik, hanyalah Aisyah ra. seorang. Padahal Aisyah ra. sendiri bukanlah cinta pertama Rasulullah SAW. Tetapi memang begitulah perasaan seorang wanita di mana pun di dunia ini, hatinya mudah was-was, perasaannya gampang khawatir, intuisinya mudah dibakar rasa cemburu sekaligus rasa cemas atas sebuah bayangan yang diciptakannya sendiri.
Bukti kongkritnya adalah anda sendiri. Suami anda masih utuh, bahkan mungkin sama sekali tidak pernah terbersit untuk menikah lagi, tapi sebagai isteri, anda sudah punya perasaan yang teralu jauh. Belum apa-apa, sudah membayangkan kalau dimadu, diterlantarkan, atau disia-siakan.
Namun boleh dibilang nyaris tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghilangkan sifat dan perasaan para wanita yang satu ini. Sifat cemas, cemburu dan mudah khawatir. Seolah sifat-sifat ini dengan variannya adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa diubah-ubah lagi.
Sia-sia saja seorang suami membujuk isterinya yang sedang dilanda rasa khawatir dan cemas yang tercitra dari imaji ciptaannya sendiri. Sebagaimana mungkin akan sia-sia nasehat dari para ustadz, kiyai, ulama atau sesepuh sekalipun. Sebab perasaan seorang wanita adalah sebuah objek yang terlalu sulit untuk dimengerti oleh logika seorang laki-laki. Bahkan seringkali diri wanita itu sendiri pun tidak pernah bisa memahami perasaan-perasaan yang muncul begitu saja.
Pandangan Syariah
Dalam pandangan syariah, seorang suami belum dihalalkan untuk menikah lagi, kecuali telah cukup syarat-syaratnya.
Syarat utama adalah kemampuan untuk memberi nafkah yang cukup. Bila dengan menikah lagi, nafkah anak dan isterinya menjadi terlantar, maka kawin lagi merupakan dosa besar baginya. Karena menelantarkan nafkah kepada orang yang wajib dinafkahi.
Syarat kedua, bila seandainya suami punya kemampuan dari segi harta, maka kepada dirinya dituntun sikap adil kepada isteri-isterinya itu. Bila tidak mampu berbuat adil, maka perintah Allah SWT adalah menikah cukup dengan satu wanita saja.
Sebenarnya, cukup dua syarat ini saja, akan membuat seorang suami berpikir seratus kali, sebelum berani memikirkan untuk berpoligami. Meski hanya dua syaratnya, namun tidak semua laki-laki memilikinya.
Dan yang terpenting, sekuat apa pun seorang isteri ingin memiliki suaminya seutuhnya, tidak akan pernah bisa. Sebab suatu hari pasti akan terjadi perpisahan juga. Kalau bukan isteri yang meninggalkan, maka suami yang akan meninggalkan. Misalnya karena kematian. Sesuatu yang pasti terjadi hanya dalam hitungan tahun ke depan.
Kalau hal ini direnungkan, yakni semua yang kita anggap milik kita ini sebenarnya hanya sementara saja, maka mungkin kita akan punya sedikit mental yang agak tegar.
Secinta apa pun seorang suami kepada isterinya, pastilah tidak akan diajaknya masuk ke kuburan. Demikian juga sebaliknya tentunya.
Bagaimana Negara Mengatur Poligami
Bagi muslim selain tunduk pada UU Perkawinan juga tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tapi tak perlu khawatir saya akan menjelaskan kedua-duanya.
Pada prinsipnya baik menurut UU Perkawinan mapupun KHI, apabila suami ingin beristri lebih dari satu (berpoligami) maka ia harus mendapat persetujuan dari isteri.
Persetujuan yang dimaksud tidak diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Lebih jelas diuraikan sebagai berikut:
Menurut UU Perkawinan, suami bisa mengajukan permohonan ke pengadilan untuk memperoleh isteri lebih dari satu (poligami). Dan pengadilan hanya akan (hanya boleh) memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila (lihat Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan):
istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tapi perlu diingat, berdasarkan Pasal 5 ayat 1 UU Perkawinan untuk dapat mengajukan permohonan poligami ke pengadilan tersebut, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yaitu:
adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka.
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan dari isteri ini dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, namun sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini nantinya akan dipertegas dengan persetujuan lisan dari isteri pada persidangan di Pengadilan. (lihat Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
Namun persetujuan yang dimaksud huruf a di atas, tidak diperlukan bagi seorang suami apabila: isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Jadi pada intinya harus mendapatkan persetujuan dari isteri.
Meski persetujuan tersebut dalam keadaan tertentu tidak mutlak diperlukan.
Pendapat Ustadzah Oki Setiana Dewi
Menurut Ustadzah Oki dalam sebuah bincang bincang dengan sebuah Stasiun Televisi, “Poligami itu bukan sesuatu yang dianjurkan, tapi dibolehkan. Jadi itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang ilmunya sangat baik agamanya, karena berlaku adil itu sulit,” ujarnya.
Stigma tentang poligami menjadi buruk ketika dilakukan oleh orang-orang yang tidak bisa berlaku adil dan tidak mengerti agama. Memiliki lebih dari satu orang istri memang rawan menghancurkan rumah tangga jika tidak bisa adil.
Kenapa kita di Indonesia ini poligami dikatakan buruk, karena dipraktikan oleh orang-orang yang buruk akhlaknya, buruk agamanya. Sehingga mereka nggak bisa berlaku adil. Tapi kalau orang-orang yang agamanya baik, akhlaknya baik, sunah-sunah lain dikerjakan misalnya salat malam nggak pernah ditinggal, ngajinya dikerjakan, itu mungkin bisa berlaku adil,” tambahnya. ( Jumadi )
Dirangkum dari Berbagai sumber