Kisah Pendiri Muhammadiyah Dalam Puisi Esai Akmal Nasery Basral

Kisah Pendiri Muhammadiyah Dalam Puisi Esai Akmal Nasery Basral

Smallest Font
Largest Font
Ditulis Oleh: Denny JA
“Sebanyak 80 rumah sakit kami kini penuh melayani Covid-19. Semua rumah sakit Muhammadiyah, dari Sumatera Utara hingga Maluku Utara.”
Wow ! Saya terpana. Muhammadiyah memiliki 80 rumah sakit. Lebih terpana lagi ketika saya tahu. Muhammadiyah juga memiliki 166 perguruan tinggi.
Ini ormas Islam yang bukan saja salah satu terkaya di dunia. Tapi baktinya kepada masyarakat, lewat pendidikan, lewat kesehatan sangat terasa.
5 hari lalu, juga di bulan Juli, Muhamamdiyah merayakan hari jadi ke 112 tahun. Sementara Indonesia bulan Agustus depan merayakan ulang tahun ke 76 tahun.
Muhammadiyah sudah tegak berdiri di sana 36 tahun sebelum Indonesia merdeka.
Tapi siapa yang duga? Siapa yang tahu kisah pendirinya Ahmad Dahlan?
“Di usia 15 tahun, Ahmad Dahlan naik haji. Ia pelajari tokoh pembaharu Islam, mulai dari muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin Al-Afgani.
Karena pembaharuan pemikirannya, Ahmad Dahlan dihujat sebagai kiai kafir. Mesjid kecilnya dirusak.
Ahmad Dahlan dianggap tak cocok dengan kultur Islam yang saat itu dominan di Yogyakarta.
Dengan putus asa, Ia berniat meninggalkan wilayah kauman Jogjakarta. Sedih hati. Ia terusir dari tempat tinggalnya sendiri.
Iapun sudah di kereta api. Semarang, semarang. Di sanalah Ia akan pergi. Semoga Ia tak terusir kembali.
Sebelum peluit kereta api berbunyi. Sebelum kereta berangkat. Pihak keluarga berhasil membujuk Ahmad Dahlan mengurungkan niat.
Apa jadinya jika Nabi Muhammad juga putus asa ketika penduduk setempat tak suka dengan ajaran yang Ia bawa?
Ahmad Dahlan kembali ke kauman Jogjakarta. Ia tumbuhkan Muhammadiyah di sana.
Tapi darimana dana? Apa daya. Ahmad Dahlan menjual perabotan rumah tangga. Baginya, ini panggilan hidup.
Ia pun mendirikan sayap untuk wanita. Baginya, wanita juga harus maju. Istrinya ia minta menjadi komandan pertama organisasi wanita Muhammadiyah.
Tapi umat perlu dicerdaskan. Tapi umat perlu sehat. Sekolah dan rumah sakit harus ditumbuhkan.
Bagaimana dengan agama lain? Di Yogyakarta juga hadir agama di luar Islam. 
Ahmad Dahlan pun bersilaturahmi. Ia menghidupkan kultur tolerasi agama.
Kini, Muhammadiyah yang Ia dirikan itu, tumbuh subur.
“Darimana saya tahu kisah Ahmad Dahlan? Saya sudah mengenal lama tokoh ini.
Namun ingatan saya disegarkan kembali dengan puisi esai yang ditulis oleh Akmal Basery Nasral.
Ini puisi esai yang asyik. Saya membaca satu puisi esai soal Ahmad Dahlan hanya dalam waktu 7 menit saja.
Tapi dalam puisi esai itu ada 23 catatan kaki. Drama emosi saya rasakan melalui puisi. Tapi sumber berita dan keterangan fakta saya dapatkan dari catatan kaki.
Akmal Basery Akmal adalah sedikit penulis yang berani mengambil jalan nekad. Ia menetapkan hati menjadi penulis full- time. Ia tak ingin setengah- setengah dalam menulis.
Latar belakangnya sebagai jurnalis di Tempo sudah memberinya keahlian menulis, mencari berita dan melihat sudut pandang.
Di usia 37 tahun, Ia mulai menulis novelnya yang pertama: Imperia (2005). Setahun kemudian, cerpennya menjadi juara satu cerpen terbaik Pikiran Rakyat (Legenda Bandar Angin, 2006).
Hanya lima tahun sejak karya pertama, Akmal membuat debut. Novelnya Sang Pencerah, soal Ahmad Dahlan, diangkat ke layar lebar oleh Hanung Brahmantyo.
Ini film yang tak hanya laris. Tapi juga inspiratif.
Kini Akmal sudah menulis 20 novel. Di tahun 2021, Ia pun menulis buku puisi esai.
Berbeda dengan umumnya buku puisi esai lain, Akmal khusus menulis puisi esai biografi. 
Itu judul bukunya: Taman Iman, Taman Peradaban (2021). Kisah lima tokoh Muslim dieksplor di sana. Juga kisah lima tokoh agama lain: Protestan, Katolik, Budha, Hindu, KongHuCu.
Satu puisi esai tentang satu tokoh. Dan ini yang istimewa. Gagasan besar dan peristiwa besar sang tokoh, mampu Ia ringkaskan dalam puisi yang hanya membutuhkan 7-10 menit untuk dibaca habis.
Berbeda dengan puisi biasa, tersedia banyak sekali catatan kaki jika kita ingin mengeksplor detail kisah sang tokoh.
“Kisah seorang tokoh. Biografi. Itu bacaaan utama saya. Buku apakah yang paling berpengaruh dalam hidup saya?
Itulah buku berjudul 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Penulisnya Michael Hart.
Terbata- bata saya membaca edisi bahasa Inggris. Maklum di SMA, bahasa Inggris saya agak parah.
Untunglah Mahbub Junaedi menerjemahkan buku ini. Sayapun berhari- hari membaca buku ini.
Bahkan, Ibu saya sempat marah. Dinding kamar saya penuh poster. Banyak tokoh dalam buku itu, saya fotocopy. Diperbesar. 
Seadanya saya jadikan poster. Saya tempel di dinding di kamar saya. Penuhlah dinding kamar saya yang sempit itu.
Kata ibu, “dinding ini baru dicat. Kini kotor lagi penuh lem.” Tapi Ibu membiarkan saya.
Hobi membaca biografi terus berlanjut hingga menonton film true story. Juga yang acapkali saya pilih, kisah tokoh.
Sebanyak 40 serial the Crown di Nerflix soal hidup pribadi kerajaan Inggris saya habiskan. Enam seri kisah tokoh spritual OSHO saya lahap.
Mulai dari buku teks, buku populer, novel hingga film, jika itu soal biografi tokoh mampu membangkitkan adrinalin saya.
Tokoh yang saya eksplor beragam pula. Mulai dari pemimpin politik seperti Winston Churchill, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela,!tokoh agama: Dalai lama, hingga rock superstar Elvis Presley, saya lahap.
“Kini saya peroleh biografi dalam medium yang baru lagi: puisi esai.
Adalah bro Akmal yang menuliskan biografi 10 tokoh. 
Sebelumnya ada pula penyair Mahwi Air Tawar yang juga menulis biografi melalui puisi esai.
Buku puisi esai Mahwi berjudul: Lima Guru Kelana Ke Lubuk Jiwa. Antara lain, Ia membuat biografi soal guru penyair Umbu Randu Perangi.
Selain soal Ahmad Dahlan, Akmal juga menulis soal Buya Hamka, YB Mangunwijaya hingga Gedong Bagus Oka.
Sungguh asyik membaca biografi dalam bentuk puisi esai. Singkat. Indah. Dan ada catatan kaki untuk mengeskplornya lebih jauh.

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author

Galeri